Monday, November 10, 2008

Apakah Kita Sudah (Benar-Benar) Merdeka?

Oleh Indra Hardian Mulyadi

Ketika seseorang lahir di dunia, maka pada saat itu pula melekat pada dirinya sebuah hak yang dianugerahkan oleh Allah untuk setiap manusia. Hak ini merupakan hak yang paling mendasar dan senantiasa melekat pada diri seorang manusia sampai hari kematiannya tiba. Hak ini tidak lain adalah hak hidup merdeka. Berbeda dengan ”kebebasan”, ”kemerdekaan” mengandung pengertian kebebasan yang bertanggung jawab. Setiap ajaran agama mengandung prinsip bahwa setiap manusia adalah merdeka, dan dalam sejarah agama prinsip kemerdekaan ini banyak mengalami bentrokan dengan kultur perbudakan yang pada zamannya sudah menjadi adat kebiasaan.

Sejarah panjang manusia dinodai dengan berbagai bentuk penjajahan. Pihak yang kuat menjajah pihak yang lemah. Pepatah mengatakan ”sejarah selalu berulang”. Sejarah kelabu mengenai penindasan, penjajahan, kezaliman senantiasa berulang dalam format, waktu, bentuk, skala, dan pelaku yang berbeda namun pada hakikatnya memiliki ciri dan modus operandi yang sama. Sampai detik ini pun aroma penjajahan masih sangat menyengat kita rasakan.

Sudah berabad-abad lamanya dunia barat mengeruk dan mengekploitasi bumi negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mulai dari benda mati seperti emas, perak, perkebunan, hutan, tanah dan sebagainya sampai dengan eksploitasi manusia seperti tenaga kerja paksa, jual beli budak, dan sebagainya. Berbagai kemewahan mereka rasakan di atas kemalangan nasib para terjajah. Si terjajah telah menjadi budak di rumahnya sendiri! Agenda rapat yang diadakan para petinggi negara barat adalah pembagian jatah tanah jajahan. Inggris mendapatkan Malaysia, Belanda mendapatkan Indonesia, Perancis mendapat jatah Mesir, dan seterusnya.

Hingga tibalah masa munculnya kesadaran dari si terjajah mengangkat senjata dengan semboyan ”merdeka atau mati”. Di masa itu, di samping biaya perang dunia I dan II, negara-negara barat juga mengeluarkan harga mahal untuk meredam gejolak fisik si terjajah. Saat itulah disimpulkan bahwa penjajahan dalam bentuk fisik sudah kadaluarsa, sehingga perlu menggunakan bentuk yang baru.

Sejarah berulang kembali, mulai dekade pasca perang dunia II, negara barat yang dikomandoi Amerika Serikat meneruskan penjajahannya dengan mengenakan seragam yang lebih resmi, menggunakan dasi, jas, dan berbekal proposal melakukan penjajahan melalui celah ekonomi. Kalau membaca buku-buku Anthony Sampson, Amartya Sen, Joseph E Stiglitz, Michael Hudson, Dan Briody, Brad Simpson, Jeffrey Sachs, Noam Chomsky, Robert Gilpin, Ravi Batra, Steven Hiatt, Sritua Arief, Hartojo Wignjowijoto, dan Sri Edi Swasono, maka suatu perekonomian disebut terjajah diukur lima indikator. Pertama, kepemilikan sumberdaya, produksi dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.

Saat ini sumber daya ekonomi Indonesia (pertambangan, perkebunan, properti) dikuasai, diproduksi dan akhirnya dinikmati oleh pihak asing. Kondisi ini tidak banyak berbeda saat Indonesia dibawah jajahan VOC, hanya dulu VOC lebih fokus pada hasil bumi (perkebunan) dan mulai beralih ke pertambangan setelah memasuki abad 20. Demikian juga dengan siapa produsen dan distributor barang dan jasa primer dan sekunder. Ukurannya terlihat pada banyaknya jumlah perusahaan asing dari 200 korporasi besar di Indonesia, yakni sekitar 70%. Saat ini asing menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (FRI, 2007). Hingga kini 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama. Beberapa BUMN strategis diprivatisasi oleh pemrintah menjadi milik asing. Kini bukan saja perusahaan distribusi seperti Unilever yang berjaya, perusahaan logistik pun didominasi asing. Lihatlah Fedex dan DHL serta tuntutan meliberalisasi sektor logistik ini.

Indonesia juga masih mengalami ketergantungan Indonesia pada impor energi (minyak mentah/crude oil maupun minyak olahan/oil product), impor bahan pangan (beras, gula, kedelai), ketergantungan pada modal asing dan dominannya asing di sektor keuangan (bank, asuransi, jumlah dana di pasar modal dan perusahaan sekuritas), dan dominannya asing dalam memiliki, membangun, dan mengelola proyek infrastruktur (energi, telekomunikasi dan transportasi).

Karena pada hakekatnya perilaku ekonomi selalu serakah, maka wujud nyata kelembagaannya adalah memonopoli. Itu berarti penguasa sektor energi, pangan, keuangan, industri manufaktur tidak akan rela melepas barang atau jasanya melalui pihak lain. Dengan berbagai strategi dan model, mereka membangun kelembagaan sehingga produsen barang dan jasa primer dan sekunder di tangan mereka. Itulah yang nampak pada industri migas, telekomunikasi, dan transportasi. Artinya indikator ketiga pun dikuasai oleh asing.

Salah satu senjata jitu yang digunakan sebagai strategi adalah utang. Seperti layaknya lintah darat, negara donor merayu negara miskin dengan data fatamorgana sehingga seolah negara tersebut layak mendapatkan pinjaman modal yang pada hakikatnya adalah utang. Setelah terbelit utang, maka negara itu akan mudah digiring ke sana kemari ibarat kerbau yang diikat hidungnya. Berbagai data yang mengagumkan yang kita peroleh di masa orde baru berupa rendahnya inflasi, cadangan devisa dan pertumbuhan ekonomi yang hampir 9 persen sama sekali tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Pada saat Soekarno bersikap tegas terhadap negara barat, Soeharto malah sebaliknya. Tak heran utang luar negeri Soekarno hanya 2,5 milyar dolar sedangkan Soeharto lebih dari 100 milyar dolar!

Jika disimak perjalanan ekonomi Indonesia selama 60 tahun belakangan ini, hanya dalam era pemerintahan Soekarno rencana untuk mewujudkan ekonomi merdeka melalui proses demokratisasi ekonomi itu benar-benar pernah dilaksanakan, yaitu melalui pengembangan koperasi dan dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dalam periode 1956 – 1964. Setelah itu, terutama setelah masuknya Mafia Berkeley sebagai bagian dari kekuasaan pada awal pemerintahan Soeharto, kaum kolonial secara sistematis berhasil menghentikan proses tersebut. Bahkan, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), mereka berhasil melakukan koreksi ulang sesuai dengan selera dan kepentingan mereka.

Program restrukturisasi utang pemerintah juga tidak mampu melepaskan bangsa ini dari jerat utang. Setiap tahun sebanyak 40% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dihabiskan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Grafik berikut memperlihatkan persentase pengeluaran APBN pada tahun 2005 dan 2006.


Sumber: www.kau.or.id

Begitu besar pengeluaran negara untuk membayar cicilan utang dan bunganya sampai merendahkan prioritas angaran pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan pertanian. Hal ini membuat anggaran negara gagal menjalankan fungsinya sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan hak dasar rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan. Hasilnya adalah pada Februari 2004 kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara, hanya 46,8% saja dari anak-anak usia pendidikan dasar yang bisa menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar, hanya 68,4% ibu-ibu yang melahirkan dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, angka kematian ibu sudah mencapai 307 orang setiap 100.000 kelahiran, setiap 1000 kelahiran 35 bayi harus meninggal, 46 dari 1000 balita meninggal karena buruknya pelayanan kesehatan, penduduk dibawah garis kemiskinan nasional sudah berjumlah 38.394.000 orang dan yang memiliki rumah hanya 32,3%, pengangguran juga meningkat dari 3.738.000 orang tahun 1994 menjadi 9.531.000 orang tahun 2003..

Demi menjamin kelangsungan pembayaran utang, pemerintah bahkan merancang agenda pemiskinan rakyat dengan cara mengurangi alokasi subsidi hingga 0,3% secara bertahap hingga 2009. Saat ini, jumlah utang luar negeri kita mencapai US$ 136,640 miliar (2007) dengan posisi pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya dalam APBN mencapai Rp. 90 trilyun! Dengan posisi utang luar negeri yang sangat rentan ini, Indonesia sangat mudah ditekan oleh asing dalam kebijakan luar negerinya, termasuk suara di PBB.

Bagaimanapun, hal yang terpenting dan yang pertama bagi kita sebagai warga negara Indonesia adalah menyadari sepenuhnya tentang kondisi ini, perbanyaklah ilmu dan bukalah wawasan mengenai kondisi bumi pertiwi ini. Selanjutnya adalah bersatu padu dalam mengatasi hal ini dengan berbagai komponen bangsa yang memiliki visi yang sama. Jangan terlalu banyak konflik karena itu akan mengembalikan lagi bangsa ini seperti periode sebelum oktober 1928. Kontribusi sekecil apapun sangat dinantikan oleh bangsa ini. Berkontribusilah sesuai peran kita sebagai mahasiswa, pekerja, birokrat, pedagang, ibu rumah tangga, dan sebagainya. Tidak peduli sekecil apapun kontribusi itu karena jika kita ikhlas maka Allah SWT akan membalas sekecil apapun amal kita walau sebesar biji sawi yang nampak tak bernilai.

-Dari berbagai sumber-